Norman Lockyer menemukan unsur
misterius pada Matahari, unsur yang tidak ditemukan di Bumi
Pada tahun 1868, secara hampir
bersamaan, astronom Perancis Pierre Janssen dan astronom Inggris Norman Lockyer
mengamati adanya unsur misterius pada Matahari. Sebuah unsur yang tidak
ditemukan di Bumi. Lockyer kemudian menamai unsur misterius ini Helium, dari
kata Bahasa Yunani “Helios” yang berarti Matahari.
Baru sekitar 30 tahun kemudian
pada tahun 1895, kimiawan Skotlandia, William Ramsay secara tak sengaja
menemukan gas Helium di Bumi. Ramsay membakar asam belerang untuk mencari
Argon, namun setelah memisahkan gas Nitrogen dan Oksigen yang tercipta dari
hasil pembakaran tersebut, Ramsay melihat adanya spektrum unsur misterius
Helium tersebut. Bersama-sama, Hidrogen dan Helium pada umumnya adalah dua
unsur paling berlimpah dalam sebuah bintang. Matahari kita, misalnya,
mengandung 34% Hidrogen dan 64% Helium, dan 2% adalah gabungan unsur
lain-lainnya.
Rahasia berabad-abad tentang
penyusun dasar Matahari telah terjawab. Ketika astronom mengarahkan
spektroskopnya ke arah bintang-bintang lain, terkuaklah misteri lain tentang
hakikat bintang: spektrum bintang ternyata sama dengan Matahari! Dengan kata
lain, Matahari adalah bintang yang letaknya sangat dekat dengan kita. Bintang
dan Matahari adalah objek yang sama namun jarak bintang jauh lebih besar
daripada jarak Bumi kita menuju Matahari. Besarnya peran spektroskopi dalam
menguak rahasia alam ini kemudian dikenang dengan memparodikan teks lagu
Bintang Kecil dalam Bahasa Inggris:
Twinkle Twinkle little star,
I don’t wonder what you are;
For by spectroscopic ken,
I know that you’re hydrogen;
Twinkle Twinkle little star,
I don’t wonder what you are.
Kenapa Matahari dan bintang dapat
bersinar? Dari mana energinya? Penelitian pada akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20 mengenai hakikat atom dan radioaktivitas menyimpulkan bahwa reaksi
nuklirlah yang membangkitkan energi Matahari. Pada bagian kedua, kita
telah melihat bahwa Hidrogen yang jumlahnya berlimpah di dalam Matahari dapat
melangsungkan reaksi nuklir hingga milyaran tahun. Seperti bagaimanakah reaksi
nuklir ini?
Reaksi fusi dapat terjadi dalam
kondisi yang teramat ekstrim, dan telah diperkirakan bahwa inti Matahari cukup
ekstrim untuk dapat melangsungkan reaksi tersebut. Sebagaimana kita ketahui,
suhu pada inti Matahari berkisar 15 juta Kelvin. Dalam teori dinamika gas, suhu
suatu gas menyatakan energi kinetik yang terkandung dalam gas tersebut, akibat
gerakan-gerakan atom dari gas tersebut. Suhu yang amat tinggi dalam suatu gas
menyatakan gerakan atom yang amat luar biasa. Tekanan yang amat tinggi juga
dapat menyatakan kerapatan dari gas tersebut. Semakin rapat suatu gas, semakin
dekat jarak antar nukleus atom satu sama lain.
Agar dapat terjadi reaksi fusi,
sebuah nukleus harus memiliki energi yang lebih besar daripada potensial
penghalang pada jarak kritis 10-15 meter, agar gaya nuklir kuat dapat
mengalahkan gaya listrik.
Untuk memicu adanya reaksi fusi,
dua buah atom harus dapat mengatasi gaya tolak antara keduanya. Inti atom
memiliki muatan positif yang saling tolak-menolak apabila bertemu muatan
sejenis. Akibatnya, dua buah atom Hidrogen yang dipertemukan akan saling
menolak. Gaya tolak ini akan semakin besar apabila jaraknya semakin dekat.
Namun apabila jarak antara dua atom ini sangat dekat maka gaya tarik yang
disebut gaya nuklir kuat dapat mengatasi gaya tolak-menolak antara kedua
nukleus, mengikat kedua inti Hidrogen dan membentuk Helium. Berapa jarak
minimal yang harus dicapai dua atom Hidrogen agar dapat melebur menjadi Helium?
Dengan berbekal pengetahuan
fisika nuklir, Fritz Houtermans mencoba menjawab pertanyaan ini. Ia lahir di
Zoppod, sebuah kota kecil di dekat Danzig di Jerman Baltik (kini bernama Gdansk
dan berada di Polandia). Pada tahun 1920an ia bekerja sebagai peneliti di
Gottingen, Jerman, dan bekerjasama dengan peneliti Inggris bernama Robert
d’Escourt Atkinson untuk menjelaskan reaksi nuklir dalam Matahari.
Bersama-sama, mereka menghitung bahwa jarak minimal yang harus dicapai kedua
atom adalah 10-15 meter atau satu per satu trilyun milimeter(!) Mereka yakin
bahwa kerapatan gas di pusat Matahari sangat tinggi sehingga jarak antar atom
akan sangat dekat, dan terlebih lagi energi kinetiknya akan sangat tinggi
sehingga gerakan mereka akan sangat cepat. Besar kemungkinan akan ada atom-atom
yang dapat mencapai jarak sekecil ini dan memicu reaksi nuklir. Hasil
perhitungan mereka dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Zeitschrift für Physik
pada tahun 1929. Begitu senangnya Houtermans dengan hasil perhitungan mereka,
sehingga sorenya ia membanggakan hasil penemuannya pada gadis yang
dikencaninya. Malam itu, bintang-bintang bersinar terang dan pacarnya berkata,
“cantik sekali ya sinar bintang-bintang itu?” Houtermans menjawab, “Sejak
kemarin aku sudah tahu apa yang menyebabkan mereka bersinar.” Charlotte
Riefenstahl, gadis itu, dengan terkagum-kagum kemudian menikahinya.
Houtermans boleh berbangga diri,
namun masih ada problem dengan temuannya mengenai jarak minimal yang dapat
memicu reaksi fusi. Pada jarak kritis ini, besarnya energi potensial yang
ditimbulkan kedua atom adalah sekitar 1000 kilo elektron Volt. Apabila sebuah
atom yang telah mencapai jarak kritis ini tidak memiliki energi yang lebih
besar daripada energi ini, maka peleburan tidak akan terjadi. Jadi ada semacam
“dinding” potensial yang harus ditembus sebuah atom Hidrogen apabila ia ingin
melebur dengan atom Hidrogen lain. Namun, setiap atom Hidrogen rata-rata hanya
memiliki energi sebesar 1 keV, 1000 kali lebih kecil daripada energi kritis
yang harus ditembus. Menurut statistik, sebagian kecil partikel memiliki energi
yang sama atau bahkan jauh lebih besar daripada energi kritis ini. Akan tetapi,
jumlah partikel yang berenergi tinggi ini sangatlah kecil sehingga reaksi
nuklir yang terjadi tidak akan cukup besar untuk dapat berlangsung selama
milyaran tahun. Bagaimanakah kita menjawab problem ini?
Teori Kuantum menyelamatkan
problem ini dengan menawarkan cara pandang yang berbeda dalam fisika. Apabila
fisika abad ke-18 begitu deterministik dengan mengatakan bahwa posisi sebuah
partikel dapat kita ketahui dari waktu-ke-waktu, maka teori kuantum mengatakan
bahwa kita hanya dapat mengetahui peluang menemukan sebuah partikel pada lokasi
tertentu. Pada skala kecil dalam dunia partikel, posisi sebuah partikel sama
sekali tidak pasti. Ia dapat berada di mana saja dan yang dapat kita tentukan
hanyalah kebolehjadian bahwa ia akan berada di suatu lokasi. Dengan berbekal
cara pandang ini, fisikawan kelahiran Ukraina, George Gamow, menyelesaikan
problem halangan potensial ini melalui fenomena yang disebutnya “efek terowongan
kuantum.” Melalui perspektif fisika kuantum, kita dapat menghitung peluang
untuk dapat menemukan sebuah partikel berada di dalam jarak kritis tersebut,
dan dengan demikian dapat melebur dan memulai reaksi nuklir. Peluang ini
semakin meningkat dengan semakin tingginya energi partikel tersebut, dan dengan
membandingkannya dengan distribusi energi suatu kumpulan partikel, dapat
dihitung rentang energi di mana reaksi nuklir paling mungkin terjadi. Perubahan
cara pandang ini memungkinkan kita menyelesaikan problem pembangkitan energi di
dalam bintang. Gamow, fisikawan Uni Soviet yang kemudian melarikan diri ke
Amerika Serikat, memikirkan efek terowongan untuk menjelaskan fenomena
peluruhan dalam perspektif fisika kuantum. Namun kemudian diketahui bahwa efek
terowongan ini juga berlaku secara umum dan dapat digunakan pula untuk
menjelaskan fenomena sebaliknya yaitu bergabungnya inti-inti atom.
Hans Bethe pindah ke Amerika
Serikat pada tahun 1935 dan
kemudian memimpin Divisi Teoritis di Laboratorium
Los Alamos
Pekerjaan Houtermans tentang
reaksi nuklir dalam bintang kemudian dilanjutkan oleh Hans Bethe. Lahir di
Straßburg, Jerman (kemudian menjadi Strasbourg dan masuk ke wilayah Perancis)
pada tahun 1906, Bethe memperoleh gelar Doktornya dari Universitas Muenchen,
Jerman, di bawah bimbingan Arnold Sommerfeld. Setelah bekerja di Cambridge dan
di Roma bersama Enrico Fermi, Bethe mengajar di Universitas Tübingen hingga
tahun 1933. Saat itu Partai Nazi berkuasa dan Bethe dipecat dari pekerjaannya
karena ibunya orang Yahudi. Bethe pindah ke Inggris dan pada tahun 1935 pindah
ke Amerika Serikat. Bersama banyak fisikawan nuklir lainnya, Bethe kemudian
bekerja mengembangkan bom atom di Laboratorium Los Alamos, dan memimpin Divisi
Teoritis.
Bidang kerja Bethe mengenai
fisika nuklir memungkinkannya mengidentifikasi jalur-jalur reaksi fusi yang
memungkinkan terciptanya inti Helium yang stabil. Atom sebuah unsur memiliki
bermacam-macam jenis yang disebut isotop. Yang membedakan isotop sebuah unsur
dengan yang lain adalah jumlah neutron yang terkandung di dalam nukleusnya.
Hidrogen netral atau Protium, misalnya, memiliki 1 proton dan 1 elektron.
Deuterium, salah satu isotop Hidrogen, memiliki tambahan 1 neutron dan relatif
stabil. Helium-3 dan Helium-4 adalah dua dari 8 isotop atom Helium yang stabil,
masing-masing memiliki 1 dan 2 neutron pada intinya. Houtermans mengharapkan
bahwa reaksi fusi dalam bintang terjadi melalui penggabungan dua inti Hidrogen
netral menjadi Diproton, isotop Helium yang sangat ringan dan tak stabil. Dua
buah neutron dibutuhkan untuk menciptakan isotop Helium yang stabil, namun pada
saat Houtermans dan Atkinson menulis makalah mereka pada tahun 1929, keberadaan
neutron masih merupakan hipotesis. Akibatnya perhitungan Houtermans belumlah
lengkap.
Pada saat Bethe melanjutkan
pekerjaan Houtermans, gambaran kita mengenai dunia atom sudah lebih lengkap.
Dua buah atom Hidrogen netral dapat melebur terlebih dahulu untuk membentuk
Deuterium. Selanjutnya, Bethe melihat Deuterium ini dapat menangkap 1 atom
Hidrogen netral lain untuk membentuk Helium-3 yang relatif cukup stabil. Dua
buah Helium-3 ini kemudian dapat melebur untuk membentuk Helium-4 yang lebih
stabil dan nonradioaktif. Sebagai produk samping, dua buah atom Hidrogen akan
dilepaskan. Reaksi ini kemudian dikenal dengan Reaksi Proton-Proton atau Reaksi
PP, karena semuanya berawal dari dua buah Proton yang melebur.
Reaksi Proton-Proton. Dua buah
atom Hidrogen akan membentuk Deuterium, selanjutnya Deuterium ini akan
menangkap Hidrogen netral untuk membentuk Helium-3, dan Helium-3 akan menangkap
Helium-3 lain untuk menghasilkan Helium-4. Dua buah atom Hidrogen netral akan
dilepaskan sebagai produk samping.
Reaksi Proton-Proton masih dapat
dilanjutkan menjadi Reaksi PP-II. Helium-3 dan Helium-4 dapat melebur untuk
membentuk Berilium-7 yang dapat menangkap sebuah elektron untuk menjadi
Litium-7 yang stabil. Selanjutnya Litium-7 dapat menangkap sebuah atom Hidrogen
dan berubah menjadi 2 buah atom Helium-4. Ini terjadi bila suhu inti berkisar antara
14 hingga 23 Juta Kelvin. Pada suhu inti di atas 23 Kelvin, terjadi reaksi
PP-III: Berilium-7 akan menangkap Hidrogen netral dan berubah menjadi Boron-8.
Karena Boron-8 tak stabil, ia akan meluruh menjadi Berilium-8, yang pada
gilirannya akan meluruh menjadi 2 buah atom Helium.
Selain Reaksi PP, Bethe juga
mengusulkan rute lain untuk menciptakan rute lain yang menggunakan atom Karbon
sebagai pemicu yang berfungsi menangkap atom Hidrogen. Bila di dalam inti
Matahari terdapat Karbon-12, maka setiap inti Karbon-12 akan dapat menangkap
Hidrogen untuk membentuk inti atom-atom yang lebih berat, yaitu berturut-turut
Nitrogen dan Oksigen. Nitrogen-15 (lihat gambar) tidak stabil sifatnya dan akan
melebur kembali menjadi Karbon-12 dan akan kembali menangkap sebuah atom
Hidrogen untuk memulai siklus ini kembali ke awal. Karena reaksi rantai ini
membentuk sebuah siklus, maka rangkaian reaksi ini dinamakan Siklus atau Daur
Karbon.
Daur Karbon yang diusulkan Bethe
dan Carl von Weizsäcker
Pada awalnya dua reaksi nuklir
ini masih bersifat spekulasi. Fisikawan-fisikawan lain kemudian memeriksa
perhitungan-perhitungan Bethe dan memastikan bahwa reaksi ini dapat terjadi
apabila kondisinya tepat.
Hans Bethe dan Siklus Karbon.
Foto ini diambil di Universitas Cornell pada tahun 1996,
saat Bethe berusia 90
tahun. Kredit foto: Michael Okoniewski
Pada tahun 1940an jelaslah bahwa
reaksi-reaksi inti ini memang benar-benar terjadi di dalam “tungku” Matahari.
Pengamatan spektrum matahari lagi-lagi menjadi kunci karena kelimpahan
unsur-unsur kimia yang dihasilkan dari reaksi-reaksi ini dapat dikonfirmasi
melalui spektroskopi Matahari. Atas jasa-jasa Bethe mengidentifikasi produksi
energi bintang-bintang, ia diganjar Hadiah Nobel pada tahun 1967.
Setelah melihat bentuk Reaksi PP
maupun Siklus Karbon, kita mungkin dapat melihat bahwa reaksi ini pada intinya
mengubah Hidrogen menjadi Helium. Perlahan tapi pasti, Hidrogen berubah bentuk
menjadi Helium dan dapat habis. Pada akhirnya, apabila sebuah bintang tak dapat
lagi membakar Hidrogen menjadi Helium, maka cara lain untuk membangkitkan
energi yang dapat mengimbangi tekanan gravitasi harus terjadi. Apabila tidak
ada, maka bintang tak akan sanggup menahan tekanan gravitasi dan akan runtuh.
Apakah masih ada cara lain?
Dua buah atom Helium-4 dapat
bergabung untuk membentuk Berilium-8, yang pada gilirannya dapat menangkap
sebuah atom Helium-4 lain untuk menjadi Karbon-12. Reaksi ini sangat penting
perannya karena merupakan satu-satunya reaksi nuklir yang dapat menciptakan unsur
Karbon dalam jumlah signifikan di jagad raya ini. Namun banyak problem yang
menghambat reaksi ini dapat terjadi. Reaksi ini hanya dapat terjadi pada suhu
yang ekstrim tinggi, yaitu pada suhu 100 Juta Kelvin. Syarat lain untuk dapat
terjadi adalah apabila terdapat atom Helium-4 dalam jumlah besar. Masalah
berikutnya adalah Berilium-8 merupakan atom yang sangat tak stabil dan hanya
mampu bertahan dalam waktu kurang dari 10-18 detik atau hanya satu per milyar
milyar detik, amat sangat singkat! Hampir tak mungkin Berilium-8—sebelum
peluruhannya —dapat menangkap Helium-4 terdekat untuk berubah menjadi
Karbon-12. Bahkan bila ini dapat terjadi pun, masih ada rintangan lain yang
harus dihadapi.
Reaksi Triple Alpha yang
diciptakan oleh Fred Hoyle
Fred Hoyle (1915--2001),
astrofisikawan Inggris yang sangat kontroversial.
Massa gabungan Helium-4 dengan
Berilium-8 lebih besar daripada massa Karbon-12, jadi apabila kedua atom dapat
bergabung sekalipun, akan ada kelebihan massa yang harus dibuang. Tentu saja
kelebihan massa ini akan diubah menjadi energi melalui persamaan E = mc2, namun
semakin besar perbedaan massanya maka waktu reaksinya akan semakin lama dan
Berilium-8, yang waktu peluruhannya sangat cepat, tidak punya waktu untuk
menunggu reaksi ini selesai. Karbon-12 harus terbentuk dengan segera karena
usia Berilium-8 teramat sangat pendek.
Karbon adalah unsur paling
berlimpah di alam semesta setelah Hidrogen, Helium, dan Oksigen. George Gamow
dan mahasiswa bimbingannya, Ralph Alpher, menemukan bahwa dalam waktu beberapa
menit sesudah big bang terjadi, alam semesta terdiri atas 75% Hidrogen dan 25%
Helium, namun unsur-unsur yang lebih berat dari itu tidak tercipta karena alam
semesta keburu mendingin sebelum terjadi reaksi fusi yang memungkinkan terjadinya
pembentukan unsur-unsur berat. Namun kenyataannya, di Bumi ini kita menemukan
unsur-unsur berat, mulai dari Hidrogen, Helium, Litium, hingga Uranium,
Plutonium, dan seterusnya. Di Bumi kita, elemen-elemen berat seperti Silikon,
Aluminium, Besi, adalah unsur-unsur paling berlimpah. Tubuh manusia mengandung
18.5% Karbon dan kita mengetahui Karbon adalah unsur yang selalu hadir dalam
hampir segala bentuk kehidupan. Menjawab pertanyaan mengenai asal-usul unsur
berat ini sama artinya dengan menjawab sebagian pertanyaan mengenai asal-usul
kehidupan, sebuah pertanyaan yang terus-menerus ditanyakan peradaban manusia.